Bengkulu, Coverpublik.com – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu mengutuk rencana perkebunan sawit skala besar di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Selain berpotensi merusak ekosistem kawasan, kehadiran komoditas itu juga akan membuat wilayah masyarakat adat akan semakin tergerus.
“Jangan ubah Enggano jadi pulau sawit,” kata Ketua Dewan AMAN Wilayah Bengkulu Rafli Zen Kaitora, Selasa, 8 Februari 2022.
Menurut pria yang juga Kepala Suku Kaitora Enggano ini, kabar tentang rencana pembukaan perkebunan sawit skala besar telah beredar di masyarakat. Bahkan telah ada aktivitas berupa pertemuan antara warga dan pihak perusahaan yang hendak berinvestasi.
Dari data yang didapat, usulan pembukaan perkebunan sawit itu rencana akan mencaplok lahan di Pulau Enggano hingga seluas 15 ribu hektare atau hampir setengah kawasan pulau Enggano yang cuma memiliki luas 39 ribu hektare.
“Warga adat di Enggano kini makin resah,” kata Rafli.
Deklarasi Tolak Sawit
Rafli menyebut, empat tahun lalu. Seluruh kepala suku di Enggano telah membuat keputusan bersama untuk menolak munculnya perkebunan sawit di Pulau Enggano. “Tahun 2017, seluruh kepala suku, ketua lembaga adat, camat dan BKSDA, ikut menandatangani deklarasinya,” kata Rafli.
Keputusan bersama yang berjudul Deklarasi Pelestarian dan Penyelamatan Pulau Enggano itu sengaja dicetuskan sebagai tindak lanjut dari Keputusan Kepala Suku Masyarakat Adat Pulau Enggano dengan Nomor: 02/KPS/Ka.S/E/2009 tentang Pengolahan Sumber Daya Alam, Satwa, dan Hewan serta Pembukaan Lahan, Pengelola an dan Pelestarian Kawasan Pesisir Pulau Enggano dalam Upaya Penyelamatan Pulau Enggano dari Ancaman Abrasi.
Dikatakan dalam putusan itu, bahwa masyarakat adat Enggano menolak dengan tegas penanaman kelapa sawit di Pulau Enggano. Baik itu di wilayah Areal Peruntukan Lain (APL) atau areal masyarakat yang masih berhutan.
“Sepakat untuk melakukan penyelamatan SDA dan ekosistem Pulau Enggano,” tambah Rafli.
Percepat Perda Adat
Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Wilayah Bengkulu Deftri Hardianto menyebutkan bahwa penolakan masyarakat yang mendiami Pulau Enggano itu seharusnya segara direspons oleh pemerintah daerah.
Sebab, sebagai yang memiliki hak atas wilayah adatnya. Penolakan masyarakat adat Enggano itu telah memiliki kajian kearifan dan mengedepankan kehidupan masyarakat.
“Bengkulu mestinya bangga dengan keunikan dan kekhasan serta kekayaan Pulau Enggano. Suara rakyat jauh lebih penting ketimbang rencana investasi yang sementara,” kata Deftri.
Atas itu, Deftri mengingatkan kepada pemerintah daerah. Bahwa saat ini sedang bergulir rencana pembuatan peraturan daerah mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Enggano di Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara. Perda inilah, sambung Deftri, yang akan menjadi payung pelindung keberadaan masyarakat adat termasuk rencana investasi di Pulau Enggano.
“Perda ini menjadi penting untuk melindungi hak masyarakat adat Enggano. Termasuk juga untuk kepastian investasi,” kata Deftri.