Bengkulu,Coverpublik.com – TBC adalah penyakit yang menjadi prioritas utama dalam pengendalian saat ini, telah menjadi standar pelayanan minimal sampai ke pelayanan kesehatan yang terbawah. Karena Indonesia adalah penyumbang penderita penyakit TBC nomor 2 sedunia.
Penyakit TBC bukannya tidak dikendalikan di Indonesia, tapi sudah bertahun-tahun dari jaman prakemerdekaan sampai sekarang. Bukan artinya penyakit ini tidak bisa diobati, tapi membutuhkan waktu yang lama untuk pengobatannya, minimal selama 6 bulan pengobatan, dan harus konsisten untuk rutin meminum obatnya. Karena kalau tidak bisa di tangani pada tahap pertama, akan meningkat menjadi TBC Multi Drug Resistant (TBC MDR).
“Pandangan dari masyarakat yang menganggap bahwa TBC adalah penyakit yang biasa, padahal angka kematian karena TBC cukup lumayan besar, walaupun jika terkena TBC tidak akan langsung meninggal. Karena akan membutuhkan proses lama dari masa inkubasi dan mulai masuknya basil tahan asam untuk bakteri TBC yang menyerang paru-paru sampai ke kematian itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga di abaikan,” ungkap Neli Hartati selaku Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, Rabu (9/2/2022).
Ia juga mengatakan bahwasannya menggunakan masker adalah gerakan pertama untuk penderita TBC sebelum adanya pandemi. Karena termasuk ke penyakit berat yang menular. Karena jika tidak menggunakan masker bagi penderita TBC, percikan dari ludah saat berbicara, batuk, dan bersin, tidak kemana-mana. Karena mengandung bakteri TBC dan akan bisa menulari seseorang jika berkontak erat dengan penderitanya.
“Sekarang bersukurlah kami, karena mau tidak mau orang sudah menggunakan masker karena kasus pandemi ini, jadi kasus TBC secara tidak langsung mungkin akan terkurangi penyebarannya terutama di Bengkulu,” katanya.
Untuk Gejala dari TBC adalah batuk berdahak yang lebih dari 2 minggu, kurang nafsu makan, berat badan menurun, dan berkeringat dimalam hari tanpa beraktivitas apapun. Semua usia akan bisa rentan terkena kalau kontak dengan penderita TBC. Jadi jika mengalami hal demikan, segerahlah periksakan dahaknya ke Fasilitas Kesehatan.
“Untuk menyadarkan masyarakat kita sudah bersama dengan tim promosi, PHBS (Prilaku Hidup Bersih Sehat), Etika Batuk, dan Deteksi Dini. Itu semua adalah program untuk mendeteksi sedemikian rupa semua gejala penyakit,” Ujarnya.
Di Kota Bengkulu penambahan kasus TBC di 2 tahun terakhir ini menurun karena adanya kasus pandemi. Sehingga membuat orang-orang dengan gejala penyakit apapun ada rasa takut untuk melakukan pemeriksaan, sehinga tidak terdeteksi jenis penyakit apa yang diderita.
Karena akan hal itu, membuat persentasi penemuan kasus TBC menjadi terendah di 2 tahun terakhir saat ini. Padahal diproyeksikan ada kurang lebih 2.000 kasus pasien penderita TBC yang ada di Kota Bengkulu.
Untuk anak yang terdeteksi terkena TBC dengan stunting dan segala macam sudah banyak, terakhir kurang lebih 30 yang terdeteksi dari orang tua yang tidak mau periksa, tapi anak-anaknya dibawa ke puskesmas karena sakit batuk, dan ternyata TBC. Karena anak tidak mungkin terkena TBC dengan sendirinya, kalau tidak orang dewasa yang menularkannya. Untuk 1 orang penderita TBC dia akan bisa menularkan 10 orang disekitarnya bahkan banyak lagi dan bisa akan terus bertambah,” tuturnya.
“Untuk persentasi kesembuhan dari Penderita TBC di atas 90% dan 20% untuk tingkat kematiannya. Jadi harus rutin dan benar-benar sudah melakukan pengobatan, dan tidak perlu kahwatir karena pengobatan untuk TBC itu masih ada obatnya. Obatnya sudah disediakan pemerintah dan geratis di setiap faskes pemerintah. Karena TBC bukan lagi mainann Indonesia, tetapi Dunia dan WHO juga sudah ikut serta. Sehingga orang dengan kasus TBC itu sudah didanai dan di support untuk pengobatanya,” tutup Neli Hartati, selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bengkulu.