Jakarta, Coverpublik.com – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai Ramadan Tahun 2022/1443 H ini akan menjadi ujian berat bagi umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa.
Sebab, masyarakat akan menghadapi penderitaan bertubi-tubi, di antaranya dengan kenaikan dan kelangkaan sejumlah komoditas, baik itu energi maupun kebutuhan bahan pokok, akibat situsi global yang makin tidak menentu.
“Selain kenaikan BBM, rakyat akan hadapi kenaikan PPN 11 persen, mahal dan langkanya minyak goreng, gula pasir dan daging pada bulan puasa nanti,” kata Achmad Nur Hidayat, Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam keterangannya, Rabu (30/3/2021).
Menurut dia, BBM subsidi saat ini akan semakin langka di pasaran. Setelah Premiun menghilang, Pertalite dipastikan juga akan langka dan hilang di pasaran.
Masyarakat akan dipaksa 100 persen menggunakan BBM nonsubsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite.
“Utang pemerintah ke pertamina yang harus dibayarkan pada akhir 2021 adalah Rp 109 triliun, meliputi Rp 84,4 triliun untuk BBM dan Rp 24,6 triliun untuk listrik,” kata Matnur, sapaan akrab Achmad Nur Hidayat.
Utang yang besar ini, lanjutnya, yang menyebabkan hilangnya BBM bersubsidi Premiun (RON 88) di pompa-pompa bensin Januari-Maret 2022.
“Pertalite akan bernasib sama seperti Premium, tiba-tiba hilang dipasaran. Premiun dan Pertalite akan hilang dari pasaran karena pemerintah tak kunjung membayarkan utangnya kepada Pertamina,” ungkapnya.
Selain itu, dampak Perang Rusia-Ukraina sudah dirasakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Harga minyak dunia naik 5% menjadi US$ 121 per barel pada Rabu (23/3/2022) lalu.
Hal ini akibat gangguan pada ekspor minyak mentah Rusia dan Kazakhstan lewat pipa Caspian Pipeline Consortium (CPC).
Situasi ini diperparah adanya penyerangan terhadap kilang minyak Aramco, buntut pertikaian Arab Saudi dengan Yaman.
Dua situasi ini tentu saja akan menyebabkan kelangkaan minyak, dan harga minyak dunia akan semakin melambung tinggi.
“Kenaikan ini tentu akan berakibat kenaikan harga BBM di dalam negeri dan tentunya akan menambah beban APBN dalam pengadaan BBM,” ujarnya.
Namun, keputusan Pertamina menaikkan BBM nonsubsidi Pertamax menjadi Rp 16.000 per liter seharusnya tidak dilakukan.
Sebab, akan menambah beban penderitaan masyarakat bertubi-tubi di tengah kenaikan harga dan kelangkaan komoditas.
“Pada periode pertama lalu untuk menjaga stabilitas keuangan Pertamina agar tidak collaps, Presiden Jokowi menyesuaikan BBM non subsidi dengan harga pasar. Tetapi, di tengah bertubi-tubinya penderitaan masyarakat saat ini apakah juga etis menaikkan?” tanyanya.
Pemerintah, kata Matnur, seharusnya fokus mengatasi masalah-masalah bahan pokok dengan kebijakan secara kongkret. Bukan sebaliknya, menaikkan harga BBM subsidi untuk menutupi defisit APBN.
“Rakyat harus mobilisasi untuk hidup lebih mandiri dari hasil produksi sendiri, memenuhi kebutuhan pokok dari kebun rakyat sendiri,” katanya.
Pasar oligariki juga harus diurai dan penjahat penimbun harus ditangkap, serta membuat program digitalisasi pemasok bahan pokok.
Sehingga rakyat mampu mengetahui secara realtime ketersediaan dan harga pokok dari petani.
Pemerintah juga harus sudah mempersiapkan langkah antisipasi dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga minyak ini.
Langkah antisipasi diantaranya dengan mempercepat konversi minyak nabati menjadi BBM dengan menggunakan teknologi dari anak-anak bangsa, seperti mempercepat implementasi D100 (Diesel) dan B100 (Bensin) dari Sawit.
“Jika langkah antisipasi tidak cukup baik dan siap tentunya masyarakat akan merasakan penderitaan secara bertubi-tubi sebagai dampak kenaikan BBM dan dampak turunan yang ditimbulkannya khususnya di Puasa 2022 ini,” katanya.