Coverpublik.com – Pendamping 11 Desa Penyangga menyayangkan tindakan Managemen PT Bimas Raya Sawitindo (BRS) kepada perwakilan 11 desa penyangga Perwakila Forum 11 desa penyangga datang mempertanyakan legalitas PT
BRS yang bergerak dibidang Perkebunan sawit yang berlokasi di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Air Napal, kecamatan Tanjung Agung Palik dan Kecamatan Air Besi. Senin, (31/10/22)
Kedatangan perwakilan 11 desa penyangga ini ke kantor BRS dikawal oleh Kapolsek Air Besi dan personil. Namun sebelum sampai ke Kantor PT. BRS, rombongan ini dihadang oleh belasan orang yang diduga memback Up
perusahaan, hingaa terjadi bentrok dan dua orang perwakilan masyarakat dari 11 desa penyangga terluka dan sempat mendapat penanganan medis.
Nurhasan, HR, Pendamping 11 desa penyangga ketika dihubungi melalui pesan singkat wahtasapp menyayangkan sikap PT BRS hingga terjadinya bentrok yang menyebabkan dua orang perwakilan masyarakat yang terluka, meskipun akhirnya mediasi bisa dilanjutkan di Kantor BRS. Seharusnya kata Nurhasan, HR, komplik berdarah tanggal 31 Oktober 2022 di lokasi PT BRS tidak mesti terjadi, sampai masyarakat ada yang kepalanya terluka dan hal itu sudah pidana delik aduan.
” komflik PT BRS dengan warga, pemerintah harus hadir di tengah tengah masyarakat, untuk melihat apa yang terjadi di lokasi. Demi rasa aman untuk wilaya kita. Kompilk berdarah seperti ini kita semua miris melihatnya, karena azas dari pada investor harus bisa beradaptasi dan bisa memberi rasa aman terhadap masyarakat. Pada dasarnya masyarakat bukan menolak invertor berinvestasi di daerahnya, karena dengan adanya perusahan jelas berpengaruh positif terhadap pendapatan devisa negara dan terbukanya lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Namun legal pormal perusahaan
harus jelas dan azas manfaat perusahaan perkebunan untuk masyarakat mesti menjadi tujuan utama seperti CSR dan plsama 20% untuk warga,” terang Nurhasan. Selasa, (1/11/22).
Menurut Nurhasan, Perwakilan masyarakat 11 desa sepakat menolak keberadaan PT BRS yang melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di daerahnya. Karena HGU PT BRS no 07 sudah tidak berlaku sejak tahun 2018.
” HGU PT BRS itu, kalau kita baca di dokumen yang diberikan oleh management PT BRS 31 Oktober 2022 sudah tidak berlaku. Karena HGU 07 berlokasi di desa yang berada di Kecamatan Kerkap,” kata Nurhasan.
Nurhasan menambahkan, perpanjang HGU PT BRS dilakukan sejak tahun 2016 sampaii saat ini belum selesai juga, menurut regulasi permen ATR 07 tahun 2017 perpanjang HGU itu dua tahun sebelum habis masa berlakunya.
Bila perpanjangan HGU tidak selesai setelah habis masa berlakunya maka PT BRS diberi hak melakukan pembaharuan 2 tahun kedepan, batasnya tahun 2020.
- Dalam pembaharuan 2 tahun itu, maka hak privilage/hak istimewa temasuk hak keperdataan dan pembaharuan Masih melekat terhadap PT BRS
” Bila hak privilage/hak istimewa itu sudah habis masa waktunya di tahun 2020, maka PT mesti mengembalikan dokumen HGU ke pihak pertanahan dan lahan menjadi milik Negara. Benda-benda di atas tanah itu wajib dibongkar terlebih dahulu, lahan diserahkan ke negara,” jelas Nurhasan.
Lebih jauh Nurhasan menerangkan, Apabila Lahan bekas HGU itu sudah dikembalikan ke negara, lahan itu bisa diberikan ke investor lain atau diusulkan masuk program Tora reporma agraria, namun berbeda permasalahan PT BRS, yang melakukan perpanjangan dari tahun 2016 sampai saat ini 2022 hampir 6 tahun perpanjangan atau pembahuruan tidak selesai.
” Perlu kita ketahui, deregulasi standar pelayanan pertanahan untuk perpanjangan HGU untuk luas lebih dari 200 ha, sekitar 70 hari selesai, ini standar pelayanan pertanahan. PT BRS pernah melakukan kegiatan melawan hukum pidana pada tahun 1998 sampai tahun 2008, lebih kurang 10 tahun. yaitu melakukan kegiatan perkebunan tidak memiliki IUP dalam melakukan kegiatan/usaha perkebunan, dan PT BRS memilik dokumen UKL UPL tahun 2007, sedangkan HGU diterbitkan pada tahun 1998. Artinya PT BRS juga perna melakukan kegiatan tanpa dukumen UKL UPL hampir 9 tahun. Ini juga pidan, semestinya jadi penilaian panitia B dari BPN untuk melakukan audit lahan dan audit yuridis,” kata Nurhasan.
Ketua Forum 11 desa penyangga, Supriadi, ketika dihubungi via telepo seluler miliknya mengatakan, forum 11 deaa sudah berupaya mulai dari kecamatan, kabupaten, Provinsi, kementrian ATR dan istana negara. dia menilai legalitas PT BRS tidak Jelas dan meminta untuk menghentikan aktivitas sebelum ada HGU kepemilikan.
” kami kami minta hentikan aktipitas PT BRS sebelum bisa memperlihatkan HGU bentuk kepemilikan, sehubungan pemukulan 2 anggota kami, kami berharap aparat penegak hukum memproses oknum tersebut. Menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional yang dilindungi Undang – Undang.” tutup Supriadi.
Redaksi berupaya meminta keterangan Kapolsek Air Besi dan Pihak PT. BRS, meski sudah dilakukan upaya, hingga berita ini kami muat, belum mendapat nomor kontak pihak yang bersangkutan.(BP)