Tolak Anggaran Rp90 Juta, KKT Bengkulu dan Masyarakat Kecewa Lokasi Festival Tabot di Pindahkan

Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) Penja Bengkulu menyatakan kekecewaan terhadap kebijakan Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan.

Bengkulu, CoverPublik.com  – Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) Penja Bengkulu menyatakan kekecewaan terhadap kebijakan Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, terkait anggaran pelaksanaan Festival Tabot 2025.

Kekecewaan ini muncul lantaran KKT hanya menerima alokasi dana sebesar Rp90 juta untuk mendukung pelaksanaan salah satu tradisi budaya terbesar di Provinsi Bengkulu tersebut.

Tak hanya soal anggaran, KKT Penja juga menyatakan penolakan terhadap rencana pelaksanaan Festival Tabot yang akan digelar di kawasan Sport Center. Ketua KKT Bengkulu, Ahmad Syiafril Syahbuddin, menilai keputusan tersebut mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap warisan budaya lokal.

“Seharusnya seorang pemimpin menghargai budaya daerah. Di Bengkulu, satu-satunya budaya yang diagungkan dan bernilai sejarah tinggi adalah Tabot. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan tradisi sakral,” ujarnya, Sabtu (18/5/2025).

Ketua KKT Bengkulu, Ahmad Syiafril Syahbuddin, menunjukan surat.

Masyarakat pun ikut menyuarakan kekecewaan. Seorang warga Kota Bengkulu, Fajri (38), yang telah sejak kecil menyaksikan tradisi Tabot di kampung, mempertanyakan alasan pemindahan lokasi festival ke pantai.

“Umur saya sudah 38 tahun, dari kecil hidup di lingkungan Tabot. Kenapa harus dipindahkan ke pantai? Seolah-olah tidak ada lagi tempat yang layak di kota ini. Terasa semaunya saja,” ujarnya geram.

Kritik juga datang dari Rina Anggraini, warga kota bengkulu yang menyoroti ketimpangan pengalokasian anggaran pemerintah daerah. Ia membandingkan nilai anggaran Tabot yang minim dengan dana besar yang dikeluarkan untuk acara non-kultural.

“Rp90 juta itu sedikit sekali. Sementara untuk hadiah acara perpisahan bisa mencapai Rp1 miliar. Bagaimana Bengkulu mau dikenal? Budaya sendiri tidak disokong. Tidak heran Festival Tabot di Bengkulu sepi pengunjung luar,” ujar Rina.

Ia pun membandingkan Festival Tabot Bengkulu dengan Festival Tabuik di Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang dinilai lebih sukses karena didukung penuh oleh pemerintah daerah setempat.

“Di Pariaman, wisatawan asing datang meliput. Padahal bentuk Tabot di Bengkulu lebih beragam. Sayangnya, dukungan pemerintah kita lemah. Bahkan masyarakat dari provinsi tetangga saja banyak yang tidak tahu kapan dan di mana Festival Tabot digelar,” pungkasnya.

KKT dan masyarakat berharap, pemerintah daerah lebih serius mendukung dan melestarikan budaya lokal agar tetap eksis dan mendunia.

Pewarta: Restu Edi
Editor : Masya Heri
COPYRIGHT © COVERPUBLIK 2025